Thursday, April 28, 2011

Cantiknya Rereng Pelangi

Di akhir Desember 2010 lalu, saya pernah menulis tentang sebuah motif batik cantik yang membuat saya kepincut sejak pandangan pertama. Berkombinasikan warna-warna cerah, kain yang saya lihat di facebook ini sangatlah eye catching.

Terlanjur jatuh hati, saya tetap menghubungi online shop yang memajang gambar batik ini meski caption foto menunjukkan jika kain telah terjual. Saat online shop tersebut membalas message saya dan menginformasikan jika mereka bersedia menerima pesanan pembuatan kain batik tulis tersebut, no need to think twice, I already ordered the batik that made me deeply fall in love at that time.
Awalnya saya mengira jika batik tersebut bermotif Parang, meski tidak terlalu yakin karena motif Parang umumnya didominasi warna-warna gelap atau soga, sementara kain ini berwarna cerah bahkan cenderung ngejreng.
Ternyata, kain batik ini bermotif ‘Rereng’, salah satu motif khas dari beberapa daerah di Tatar Sunda seperti Garut dan Tasikmalaya. Informasi tentang corak batik saya peroleh dari pemilik online shop yang berasal dari Tasikmalaya. Sang owner shop juga menjelaskan jika motif batik tersebut dibuat oleh para pembatik Tasik.
Rereng, nama yang sudah beberapa kali saya dengar meski motifnya baru pertama kali ini saya lihat. Corak batik Rereng sekilas memang mirip dengan motif Parang dari Yogya atau Solo.
Ihwal kemiripan antara motif batik Rereng dengan motif Parang dari tanah Jawa disebabkan karena adanya pengaruh yang kuat dari Batik Jawa seperti Solo atau Yogya terhadap perkembangan batik Tasikmalaya.
Motif Parang atau Lereng kemudian diadaptasi dengan nama Rereng dalam Bahasa Sunda. Motif ini banyak dibuat dengan berbagai variasi oleh para pembatik Tasik, misalnya Rereng Surutu, Rereng Orlet, Rereng Janggot, Rereng Impala, Rereng Sintung atau juga Rereng Pelangi seperti motif batik yang saya beli dari online shop tersebut.
Walaupun motif-motif batik Tasik tidak disakralkan atau dihubungkan secara religius, tetapi ada beberapa motif yang dipercaya oleh sebagian masyarakat dapat membawa keberuntungan seperti motif Pisang Bali yang dibuat untuk orang yang berjualan dan diyakini dapat membawa keberuntungan.
Makna simbolis pada batik Tasik hanya terbatas pada motif klasik dan motif yang mendapat pengaruh dari Yogya dan Solo, namun pemberian makna simbolik pada motif batik Tasik saat ini sudah tidak dilakukan lagi.
Selain pengaruh dari batik Yogya dan Solo, motif batik Tasikmalaya juga dipengaruhi oleh batik Pekalongan. Pengaruh ini muncul pada corak flora dan fauna yang digambarkan secara naturalis dan berwarna cerah.
Batik Tasikmalaya memiliki motif dan warna yang khas, namun kedekatan wilayah ini dengan Ciamis dan Garut membuat unsur saling mempengaruhi, khususnya dalam motif, tak terelakkan. Seperti halnya batik Tasikmalaya, batik Garut dan Ciamis pun tak lepas dari pengaruh daerah lain diantaranya dari Yogya dan Solo.
Kendati mendapat pengaruh dari batik Jawa baik Yogya atau Solo, corak batik Sunda tetap memiliki kekhasan tersendiri. Warna batik Sunda umumnya lebih cerah dan berwarna dibandingkan batik-batik produksi Jawa. Batik Tasikmalaya, misalnya, menggunakan beragam warna seperti merah, biru kehijauan, kuning, ungu, orange, dan hitam. Warna-warna ini banyak dipakai oleh para pembatik Tasik di Cipedes dan Sukaraja, dua sentra batik di Kota Tasikmalaya. Sedangkan sentra batik Sukapura yang terletak di Kabupaten Tasikmalaya cenderung didominasi oleh warna merah marun, biru indigo, dan hitam.
Jika dilihat dari corak warnanya, besar kemungkinan kain batik Tasik pertama saya ini berasal dari Kota Tasikmalaya. Sesuai dengan nama motifnya, Rereng Pelangi, kain batik tulis ini memiliki beragam warna cerah tak ubahnya pelangi. Juga cantik, seperti pelangi.
Kalau dalam batik Jawa, motif Parang dipandang ‘ora ilok’ untuk dipakai dalam sebuah acara pernikahan karena dipercaya bisa membawa ketidakcocokan dalam perkawinan orang yang punya gawe tersebut nantinya. Meski tak lagi menggunakan pemberian makna simbolik, namun karena motif Rereng merupakan adaptasi dari motif Parang membuat saya masih mikir-mikir juga untuk memakai kain batik Rereng Pelangi ini ke acara kondangan J
Sumber: Buku Saku Batik Jawa Barat Jilid II, Yayasan Batik Jawa Barat

Tuesday, April 19, 2011

Melongok Sentra Batik Kauman

Tak hanya Kampung Batik Laweyan, Solo juga memiliki Kampung Batik Kauman sebagai salah satu sentra kerajinan batik.
Kawasan ini terletak di pusat kota Solo, sehingga mudah dijangkau dengan moda transportasi apa saja. Letaknya juga berdekatan dengan Pasar Klewer, Keraton Kasunanan Surakarta maupun Masjid Agung.


Salah satu gang masuk Kampung Batik Kauman

Konsep dan suasana berbelanja batik di Kampung Batik Kauman tak berbeda jauh dari Kampung Batik Laweyan. Rumah-rumah di kawasan ini berfungsi sebagai tempat produksi sekaligus tempat penjualan batik. Beragam nama merk dagang terpampang di tiap rumah pengrajin batik.
Sesuai dengan namanya sebagai kampung batik, kawasan ini tak hanya menyuguhkan segala sesuatu yang menyangkut batik mulai dari proses pembuatan batik hingga produk jadi, tapi jika jeli, kita juga bisa melihat beberapa benda atau bangunan bermotif batik seperti tong sampah dan gapura. Sayangnya saya tak sempat memotret sebuah gapura batik yang saya lihat saat akan keluar Kauman dan menuju Pasar Klewer.
Sama halnya dengan Kampung Batik Laweyan, di kawasan ini kita bisa menemukan lorong-lorong jalan dan gang. Hanya saja, jika gang-gang di Laweyan masih bisa dilalui dua mobil dari arah berlawanan, di Kampung Batik Kauman hal ini cukup sulit dilakukan karena kondisi jalanan yang lebih sempit. Gang-gang di Kauman memang tak seluas di Laweyan.
Namun toh blusukan mencari batik di Kampung Batik Kauman paling asyik dilakukan dengan berjalan kaki, atau jika tak ingin capek bisa menggunakan becak yang banyak ditemui di sekitar kawasan. Papan penunjuk jalan juga mudah ditemui di sana, sehingga tak perlu khawatir akan tersesat meski baru pertama kali datang berkunjung.
Menurut sejarahnya, Kampung Kauman adalah kawasan yang diperuntukkan bagi tempat tinggal kaum ulama yang terdiri dari beberapa lapisan masyarakat. Mulai dari Tafsir Anom, ketip, modin, suronoto, dan kaum sebagai penduduk mayoritas. Dalam perkembangannya, kawasan ini kemudian dinamakan ‘kaum’ yang berarti Kampung Ulama. Cerita lain menyebutkan jika nama Kauman diambil dari kata ‘kaum’ yang merupakan penduduk mayoritas di kawasan tersebut.
Batik di kawasan ini diperkenalkan langsung oleh Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Masyarakat Kauman mendapatkan latihan secara khusus untuk membuat jarit atau karya batik lainnya dari keraton. Berbekal keahlian dalam membatik ini, beragam karya batik kini dapat ditemui di Kauman.
Kondisi pasang surut juga sempat dialami Kampung Batik Kauman. Misalnya pada tahun 1970-an, saat masuknya industri batik printing dengan harga lebih murah dan waktu pembuatan yang lebih cepat. Kampung Batik Kauman kembali menggeliat bangkit di tahun 2000-an, dan bertahan hingga saat ini.
Berjalan-jalan di Kampung Batik Kauman mengingatkan saya saat menyusuri Kampung Batik Laweyan. Banyak kemiripan yang dimiliki kedua kampung batik ini. Meski demikian, jika dicermati ada perbedaan yang cukup terlihat dari batik produksi Kampung Batik Laweyan dan Kauman. Batik Laweyan memiliki warna yang lebih terang,  sedangkan batik Kauman berwarna cenderung lebih gelap.
Mengutip informasi dari seorang teman yang sudah beberapa kali berkunjung ke kampung batik ini, karena letaknya yang berdekatan dengan Masjid Agung, Kampung Batik Kauman memberikan suasana yang cukup relijius dibandingkan Laweyan. Selain batik, beberapa toko juga ada yang menjual benda-benda bernuansa Islami seperti sajadah, tasbih maupun hiasan dinding berlafazkan Islam.
Nah, apabila Anda ingin berkunjung ke Kampung Batik Kauman maupun Laweyan, sebaiknya jangan pada saat weekend agar bisa lebih leluasa berjalan-jalan dan berbelanja. Tips yang lain, jangan lupa membawa payung jika Anda tidak ingin kepanasan saat berjalan-jalan menyusuri lorong jalan di kedua kampung batik tersebut.

Friday, April 15, 2011

Menengok Batik di Kampung Batik Laweyan

Bengawan Solo, riwayatmu kini…
Sedari dulu jadi perhatian insani…
Mendengar sepenggal lagu Bengawan Solo ciptaan seniman Gesang dalam sebuah acara di televisi seakan membawa pikiran saya hinggap di sebuah kota bernama Solo, Sala atau sering disebut juga dengan Surakarta.
Seperti halnya Yogyakarta, Solo merupakan pusat kebudayaan Jawa. Budaya Jawa masih sangat kental terasa di kota yang memiliki slogan The Spirit of Java ini. Tak sulit menemukan nama jalan, gedung, sekolah, atau pasar yang masih menggunakan aksara Jawa honocoroko. Sepasang topeng dari tokoh pewayangan juga terlihat menghiasi beberapa sudut kota.  
Sepasang topeng pewayangan di salah satu sudut kota
Aksara Jawa di salah satu bagian Pasar Klewer
Satu bagian dari budaya Jawa yang tak terpisahkan dari Solo adalah batik.
Batik merupakan tradisi yang diwariskan secara turun temurun di kota yang sering diidentikkan dengan perempuan Jawa nan ayu dan lemah lembut ini. Sebuah patung perempuan yang tengah membatik di Jl. Slamet Riyadi seolah menegaskan jika batik telah menjadi identitas kota Solo. Tak ketinggalan, Solo Batik Carnival, yaitu event karnaval batik yang digelar di jalan-jalan utama Kota Solo dengan ratusan peserta berbusana batik, rutin diadakan setiap tahunnya.
Dari sekian sentral batik yang ada di Solo, salah satunya yang tersohor adalah Kampung Batik Laweyan.

Awal April ini, dipandu seorang teman, saya berkesempatan untuk menelusuri lorong-lorong jalan di kawasan yang juga menjadi ikon Batik Solo ini.

Kampung Batik Laweyan terletak tak jauh dari pusat kota, hanya sekitar 10 menit dari stasiun Purwosari atau sekitar 5 km dari Keraton Solo. Memasuki kampung batik ini, kita dapat melihat sebuah peta besar terpampang berisikan sejarah asal mula berdirinya Laweyan. Sejarah Laweyan ini juga diceritakan dalam novel Canting karya Arswendo Atmowiloto.

Sejarah dan peta Laweyan
Berasal dari kata ‘lawe’ yang berarti benang dari pilinan kapas, Laweyan mulai tumbuh sebagai pusat perdagangan Kerajaan Pajang pada tahun 1500-an, dengan sandang sebagai komoditas utama. Batik di Laweyan sendiri awalnya dikenalkan oleh Ki Ageng Henis, disamping mengajarkan ilmu agama.
Laweyan sempat mengalami kondisi pasang surut. Setelah mengalami penurunan seiring dengan perkembangan Solo sebagai pusat kerajaan, Laweyan kembali mencapai kejayaannya pada abad 20 ketika industri batik tumbuh pesat. Kondisi ini kemudian melahirkan banyak saudagar batik yang kekayaannya bahkan melampaui kaum bangsawan keraton. Dimasa jayanya, para saudagar batik ini tidak hanya mapan secara ekonomi namun juga memiliki kekuatan secara politis. Dari kawasan inilah Syarikat Dagang Islam dahulu dideklarasikan.
Industri batik di wilayah ini kembali surut oleh industri batik printing pada awal tahun 1970-an. Kondisi ini masih bertahan hingga tahun 1900-an. Tak ingin Laweyan hilang tergerus perkembangan zaman, atas prakarsa sejumlah masyarakat kawasan ini kemudian diresmikan sebagai Kampung Batik dan salah satu tujuan wisata di kota Solo oleh pemerintah pada 25 September 2004.
Sebuah gang di satu sudut Kampung Batik Laweyan
Kawasan sentra industri batik ini menyuguhkan konsep dan suasana berbelanja batik yang berbeda. Batik diproduksi sekaligus dipajang di rumah masing-masing pengrajin batik yang sebagian telah dibentuk menyerupai outlet atau butik, lengkap dengan etalase untuk memajang produk batiknya. Tak mengherankan, banyak plang papan nama dengan beragam merek dagang batik terlihat di tiap lorong jalan Laweyan.

Lorong jalan Laweyan



Rumah-rumah batik Laweyan 

Laweyan juga terkenal dengan bentuk bangunan rumah para saudagar batik tempo doeloe. Rumah-rumah dibangun dalam ukuran yang besar dengan arsitektur campuran antara tradisional Jawa, Eropa, Cina, dan Islam. Setiap rumah juga dilengkapi dengan pagar tinggi atau dalam bahasa Jawa sering disebut juga dengan ‘beteng’, yang menyebabkan jalan-jalan di Laweyan menjadi sempit.
Tapi inilah keunikannya. Meski masih bisa dilalui mobil, namun menelusuri Kampung Batik Laweyan paling menarik dilakukan dengan berjalan kaki. Berjalan menyusuri lorong-lorong jalan di Kampung Batik Laweyan sembari melihat-lihat beragam produksi batik di antara outlet rumah batik di sisi kanan maupun kiri jalan sungguh mengasyikkan. Baju-baju batik berwarna terang dan eye catching dipajang dengan tampilan yang menarik untuk memikat perhatian pembeli.
Jadi, jika Anda tertarik untuk berwisata ke Solo, Kampung Batik Laweyan bisa menjadi salah satu alternatif tujuan wisata. Tak hanya sekedar berbelanja batik namun juga bisa melihat proses pembuatan batik atau sebaliknya, berbelanja sekaligus mengetahui proses pembuatan batik. Terserah Anda :).

Sunday, April 10, 2011

Warna-warni Batik Madura

Minggu lalu, saat pulang ke rumah saya mendapatkan oleh-oleh berupa 2 kain batik Madura, dari Ibu saya yang baru saja berwisata ke sana. Warnanya yang terang dan bermotif cenderung ramai justru membuat saya langsung jatuh hati saat pertama kali melihat kain batik ini.

Pulau Madura memang tidak hanya identik dengan karapan sapi, garam, jamu, maupun sate semata, tetapi juga tersohor sebagai salah satu daerah penghasil batik. Batik yang dihasilkan dari wilayah yang termasuk Provinsi Jawa Timur ini memiliki keunikan tersendiri yang membedakannya dengan batik dari daerah lain, khususnya dalam ragam motif dan corak warna.




Batik Madura umumnya memiliki warna-warna yang cenderung berani seperti merah, hijau, kuning, atau biru. Corak warna ini diperoleh dengan menggunakan pewarna alami yang ramah lingkungan sehingga warna yang dihasilkan cukup mencolok, namun inilah yang membuat kain batik Madura semakin menarik untuk dilihat. Bahan alami yang digunakan dalam proses pewarnaan batik Madura diambil dari tumbuh-tumbuhan, diantaranya kayu jambal, kulit buah jelawe ataupun akar mengkudu.

Pengerjaan kain batik Madura pun masih mempertahankan cara-cara tradisional. Kain-kain batik dibuat melalui proses pembatikan dengan tangan, mulai dari tahap perendaman kain mori dalam air bercampur minyak dempel dan abu sisa pembakaran kayu dari tungku, dilanjutkan dengan pencucian, pengkajian, penggambaran pola pada kain, pemakaian malam, pewarnaan, pelorotan (atau dilorot, yaitu untuk menghilangkan malam pada kain batik dengan memasukkan kain ke dalam air mendidih), hingga proses penyikatan dan penjemuran kain.  

Selain corak warna yang berani, batik Madura juga memiliki motif yang beragam. Ada motif pucuk tombak, belah ketupat, flora dan fauna, ataupun motif klasik seperti cacerna, sisik Malaya, sisik amparan, dan sekoh. Setiap motif memiliki ceritanya masing-masing. Misalnya, batik tar poteh yang berlatar putih mengandung makna sebagai kesucian seorang perempuan.

Motif maupun warna yang tertuang dalam kain batik Madura, menurut sebuah sumber di internet, sejatinya merupakan refleksi dari karakter masyarakatnya. Batik, telah menjadi sebuah ikon budaya dan bagian tak terpisahkan dari tradisi masyarakat Madura.

Sentra batik Madura sendiri tersebar dari Bangkalan di ujung barat Madura, Pamekasan hingga Sumenep. Namun, jika membicarakan tentang batik Madura, ada satu daerah yang seakan identik dengan batik Madura yaitu Tanjung Bumi yang terletak di Bangkalan Utara. Wilayah ini merupakan penghasil batik Gentongan, yang khas dengan keistimewaan warnanya.

Jika suatu hari nanti Anda berkesempatan datang berkunjung ke sana, jangan lupa menambahkan ‘membeli batik Madura’ dalam daftar things to do Anda, selain menonton karapan sapi tentunya :).