Bengawan Solo, riwayatmu kini…
Sedari dulu jadi perhatian insani…
Mendengar sepenggal lagu Bengawan Solo ciptaan seniman Gesang dalam sebuah acara di televisi seakan membawa pikiran saya hinggap di sebuah kota bernama Solo, Sala atau sering disebut juga dengan Surakarta.
Seperti halnya Yogyakarta, Solo merupakan pusat kebudayaan Jawa. Budaya Jawa masih sangat kental terasa di kota yang memiliki slogan The Spirit of Java ini. Tak sulit menemukan nama jalan, gedung, sekolah, atau pasar yang masih menggunakan aksara Jawa honocoroko. Sepasang topeng dari tokoh pewayangan juga terlihat menghiasi beberapa sudut kota.
Sepasang topeng pewayangan di salah satu sudut kota
Aksara Jawa di salah satu bagian Pasar Klewer
Satu bagian dari budaya Jawa yang tak terpisahkan dari Solo adalah batik.
Batik merupakan tradisi yang diwariskan secara turun temurun di kota yang sering diidentikkan dengan perempuan Jawa nan ayu dan lemah lembut ini. Sebuah patung perempuan yang tengah membatik di Jl. Slamet Riyadi seolah menegaskan jika batik telah menjadi identitas kota Solo. Tak ketinggalan, Solo Batik Carnival, yaitu event karnaval batik yang digelar di jalan-jalan utama Kota Solo dengan ratusan peserta berbusana batik, rutin diadakan setiap tahunnya.
Dari sekian sentral batik yang ada di Solo, salah satunya yang tersohor adalah Kampung Batik Laweyan.
Awal April ini, dipandu seorang teman, saya berkesempatan untuk menelusuri lorong-lorong jalan di kawasan yang juga menjadi ikon Batik Solo ini.
Kampung Batik Laweyan terletak tak jauh dari pusat kota, hanya sekitar 10 menit dari stasiun Purwosari atau sekitar 5 km dari Keraton Solo. Memasuki kampung batik ini, kita dapat melihat sebuah peta besar terpampang berisikan sejarah asal mula berdirinya Laweyan. Sejarah Laweyan ini juga diceritakan dalam novel Canting karya Arswendo Atmowiloto.
Awal April ini, dipandu seorang teman, saya berkesempatan untuk menelusuri lorong-lorong jalan di kawasan yang juga menjadi ikon Batik Solo ini.
Kampung Batik Laweyan terletak tak jauh dari pusat kota, hanya sekitar 10 menit dari stasiun Purwosari atau sekitar 5 km dari Keraton Solo. Memasuki kampung batik ini, kita dapat melihat sebuah peta besar terpampang berisikan sejarah asal mula berdirinya Laweyan. Sejarah Laweyan ini juga diceritakan dalam novel Canting karya Arswendo Atmowiloto.
Sejarah dan peta Laweyan
Berasal dari kata ‘lawe’ yang berarti benang dari pilinan kapas, Laweyan mulai tumbuh sebagai pusat perdagangan Kerajaan Pajang pada tahun 1500-an, dengan sandang sebagai komoditas utama. Batik di Laweyan sendiri awalnya dikenalkan oleh Ki Ageng Henis, disamping mengajarkan ilmu agama.
Laweyan sempat mengalami kondisi pasang surut. Setelah mengalami penurunan seiring dengan perkembangan Solo sebagai pusat kerajaan, Laweyan kembali mencapai kejayaannya pada abad 20 ketika industri batik tumbuh pesat. Kondisi ini kemudian melahirkan banyak saudagar batik yang kekayaannya bahkan melampaui kaum bangsawan keraton. Dimasa jayanya, para saudagar batik ini tidak hanya mapan secara ekonomi namun juga memiliki kekuatan secara politis. Dari kawasan inilah Syarikat Dagang Islam dahulu dideklarasikan.
Industri batik di wilayah ini kembali surut oleh industri batik printing pada awal tahun 1970-an. Kondisi ini masih bertahan hingga tahun 1900-an. Tak ingin Laweyan hilang tergerus perkembangan zaman, atas prakarsa sejumlah masyarakat kawasan ini kemudian diresmikan sebagai Kampung Batik dan salah satu tujuan wisata di kota Solo oleh pemerintah pada 25 September 2004.
Sebuah gang di satu sudut Kampung Batik Laweyan
Kawasan sentra industri batik ini menyuguhkan konsep dan suasana berbelanja batik yang berbeda. Batik diproduksi sekaligus dipajang di rumah masing-masing pengrajin batik yang sebagian telah dibentuk menyerupai outlet atau butik, lengkap dengan etalase untuk memajang produk batiknya. Tak mengherankan, banyak plang papan nama dengan beragam merek dagang batik terlihat di tiap lorong jalan Laweyan.
Lorong jalan Laweyan
Rumah-rumah batik Laweyan
Laweyan juga terkenal dengan bentuk bangunan rumah para saudagar batik tempo doeloe. Rumah-rumah dibangun dalam ukuran yang besar dengan arsitektur campuran antara tradisional Jawa, Eropa, Cina, dan Islam. Setiap rumah juga dilengkapi dengan pagar tinggi atau dalam bahasa Jawa sering disebut juga dengan ‘beteng’, yang menyebabkan jalan-jalan di Laweyan menjadi sempit.
Tapi inilah keunikannya. Meski masih bisa dilalui mobil, namun menelusuri Kampung Batik Laweyan paling menarik dilakukan dengan berjalan kaki. Berjalan menyusuri lorong-lorong jalan di Kampung Batik Laweyan sembari melihat-lihat beragam produksi batik di antara outlet rumah batik di sisi kanan maupun kiri jalan sungguh mengasyikkan. Baju-baju batik berwarna terang dan eye catching dipajang dengan tampilan yang menarik untuk memikat perhatian pembeli.
Jadi, jika Anda tertarik untuk berwisata ke Solo, Kampung Batik Laweyan bisa menjadi salah satu alternatif tujuan wisata. Tak hanya sekedar berbelanja batik namun juga bisa melihat proses pembuatan batik atau sebaliknya, berbelanja sekaligus mengetahui proses pembuatan batik. Terserah Anda :).
No comments:
Post a Comment