Thursday, May 13, 2010

Membaca Filosofi Motif Batik


BATIK memang bukan sekadar lukisan yang ditorehkan pada kain dengan mengunakan canting (alat untuk membatik yang berisi malam atau lilin). Banyak jejak bisa digali dari sehelai kain batik. Sebab motif yang ditorehkan pada selembar kain batik selalu mempunyai makna tersembunyi. Beberapa motif batik, misalnya, sengaja untuk menunjukkan status si pemakaianya. Bahkan sampai saat ini, sejumlah motif batik tadisional klasik hanya boleh dipakai oleh keluarga keraton (Yogyakarta dan Surakarta).
Maka, setiap motif pada batik tradisional klasik selalu memiliki filosofi tersendiri. Pada motif batik, khususnya di Jawa Tengah, terutama Solo dan Yogyakarta, setiap gambar memiliki makna. Ini berhubungan dengan arti atau makna filosofis dalam kebudayaan Hindu-Jawa. Pada motif tertentu ada yang dianggap sakral dan hanya dapat dipakai pada kesempatan atau peristiwa tertentu.
Menariknya, jika menengok fungsi kain batik di lingkungan keraton, batik ternyata hanya digunakan sebagai kain bawahan, artinya bukan untuk gaun atau kemeja. Dan setiap motif pun mempunyai peruntukannya masing-masing.

Lihatlah motif Sida Mukti, yang secara harfiah berarti “menjadi berkecukupan, makmur”. Motif ini hanya boleh digunakan oleh kalangan keluarga keraton. Ada lagi motif Wahyu Tumurun (turunnya wahyu), yang digunakan hanya pada upacara jumenengan (perayaan ulang tahun naik tahta). Sementara motif Parang yang bernuansa cukup ramai, biasanya dipakai untuk acara pesta atau menghadiri suatu perayaan. Sedangkan untuk melayat, digunakan warna yang lebih lembut yaitu motif kawung. Keempat motif batik tersebut hanya diperuntukan bagi keluarga keraton, dan tidak boleh digunakan oleh rakyat jelata. Di luar empat motif batik tersebut, tentu masih terdapat banyak motif lain.
Sebagai pusaka warisan leluhur, proses pembuatan kain batik pada zaman dulu memang tidak main-main, karena dilakukan dengan melibatkan seluruh indera rasa. Konon, pada masa kerajaan, tak jarang untuk membuat selembar kain batik harus melalui serangkaian ritual, seperti puasa dan bersemedi.
Bahkan, pada zaman PB III, mori atau kain yang akan dibatik harus direndam dulu selama 40 hari 40 malam. Pembuatan batik itu tidak asal jadi karena ada serangkaian ritual yang harus dilakukan agar auranya keluar. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan ilham dalam menciptakan motif batik. Dari laku seperti inilah kenapa motif batik diyakini mengandung filosofi.
Motif Parang Rusak misalnya. Motif ini diciptakan oleh Panembahan Senopati, pendiri Kerajaan Mataram. Konon, sang raja sering bertapa di sepanjang pesisir selatan Pulau Jawa yang dipenuhi oleh jajaran pegunungan seribu yang terlihat seperti pereng (tebing) berbaris. Akhirnya, ia menamai tempat bertapanya dengan pereng yang kemudian berubah menjadi parang. Di salah satu tempatbertapa tersebut, ada bagian yang terdiri dari tebing-tebing atau pereng yang rusak karena terkikis deburan ombak laut selatan, sehingga lahirlah ilham untuk menciptakan motif batik yang kemudian diberi nama Parang Rusak.
Kemudian motif Parang Rusak Barong. Motif ini diciptakan Sultan Agung Hanyakrakusuma yang ingin mengekspresikan pengalaman jiwanya sebagai raja dengan segala tugas kewajibannya, dan kesadaran sebagai seorang manusia yang kecil di hadapan Sang Maha Pencipta. Kata barong berarti sesuatu yang besar, dan ini tercermin pada besarnya ukuran motif tersebut pada kain. Motif Parang Rusak Barong ini merupakan induk dari semua motif parang. Pada zaman dulu, motif barong hanya boleh dikenakan oleh seorang raja. Motif ini mempunyai makna agar seorang raja selalu hati-hati dan dapat mengendalikan diri.
Motif parang sendiri mengalami perkembangan dan memunculkan motif-motif lain seperti Parang Rusak Barong, Parang Kusuma, Parang Pamo, Parang Klithik, dan Lereng Sobrah. Karena penciptanya pendiri Kerajaan Mataram, maka oleh kerajaan, motif-motif parang tersebut hanya diperkenankan dipakai oleh raja dan keturunannya, dan tidak boleh dipakai oleh rakyat biasa. Jenis batik itu kemudian dimasukkan sebagai kelompok batik larangan (batik yang tidak boleh dipakai oleh rakyat jelata).
Memang, garis-garis lengkung pada motif parang sering diartikan sebagai ombak lautan yang menjadi pusat tenaga alam (raja). Komposisi miring pada parang juga melambangkan kekuasaan, kewibawaan, kebesaran, dan gerak cepat, sehingga pemakainya diharapkan dapat sigap dan sekatan.
 

Pada zaman Sri Sultan Hamengku Buwono VIII, motif parang menjadi pedoman utama untuk menentukan derajat kebangsawanan seseorang dan menjadi ketentuan yang termuat dalam Pranatan Dalem Jenenge Panganggo Keprabon Ing Karaton Nagari Ngajogjakarta tahun 1927. Selain motif Parang Rusak Barong, motif batik larangan pada lainnya adalah adalah motif Semen, Udan Liris, Sawat dan Cemungkiran.
Motif batik Semen yang mengutamakan bentuk tumbuhan dengan akar sulurnya ini bermakna semi atau tumbuh sebagai lambang kesuburan, kemakmuran, dan alam semesta. Sedangkan motif Udan Liris termasuk dalam pola geometris yang tergolong motif lereng disusun secara garis miring, sering diartikan sebagai hujan gerimis yang menyuburkan tumbuhan dan ternak.
Motif-motif lain, adalah motif Lidah Api, Setengah Kawung, Banji, Sawut, Mlinjon, Tritis, Ada-ada dan Untu Walang yang komposisinya diagonal memanjang, bermakna pengharapan agar pemakainya dapat selamat sejahtera, tabah dan berprakarsa dalam menunaikan kewajiban bagi kepentingan nusa dan bangsa.

Namun seiring dengan perkembangan zaman, penerapan batik larangan sudah tidak sekuat dulu lagi. Bahkan motif-motif tersebut sekarang sudah banyak dikenakan masyarakat di luar tembok keraton.
Sumber: http://kabarsoloraya.com/2009/06/27/membaca-filosofi-motif-batik/

No comments:

Post a Comment